26/12/11

Budaya KKN di Indonesia (Dari Pejabat hingga Rakyat)

Dalam sejarah perjuangan mengisi kemerdekaan ini tentu kita masih ingat dengan yang namanya gerakan Reformasi sekitar tahun 1998. Pada saat itu banyak sekali elemen masyarakat yang mendukung adanya reformasi. Dari kalangan akademisi, budayawan, ormas, LSM, elemen mahasiswa, buruh dan lain-lain bersatu menyuarakan reformasi untuk memperbaiki bangsa Indonesia yang saat itu dinilai amat sangat diktator. Sebagai akibatnya budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang berkembang dengan suburnya. Terlebih dengan adanya pembredelan terhadap dunia pers sehingga hal-hal yang seharusnya itu bisa transparan diketahui publik justru di peti-es kan.
Sepuluh tahun lebih kita sudah melewati reformasi. Tapi apa yang terjadi hingga hari ini? Kita bisa menyaksikan bahwa menumpas yang namanya budaya KKN itu begitu amat sangat susahnya. Orang-orang yang dahulu mengobarkan reformasi justru ketika ia menjabat, katakanlah, menjadi politisi atau penguasa justru malah berlomba-lomba mengeruk keuangan negara untuk memperkaya diri pribadi dan golongannya.
Seseorang bisa lepas dari jeratan hukum dengan memberikan uang besar kepada pihak-pihak yang mengangani permasalahanya. Bahkan meski dia masuk bui ia bisa mendapatkan fasalitas istimewa layaknya tinggal di hotel seperti kasus Sidak di Rutan Pondok Bambu yang menemukan Artalita Suryani yang terlibat kasus suap justru dengan nikmatnya menempati Rutan tersebut. Kemudian kita juga masih banyak menemui seorang pejabat yang mengangkat keluarga atau kelompokya untuk bisa menjadi pegawai dengan mudahnya tanpa tes seperti masyarakat umumnya, katakanlah untuk menjadi PNS misalnya.
Di sisi lain, seseorang warga negara yang mau mengurus administrasi di tingkat kelurahan seperti KTP baru dilayani ketika ia mau mengasih persenan untuk para petugas jika urusannya mau selesai. Padahal kita tahu bahwa petugas tersebut memang sudah tugasnya melayani warga. Ia sudah mendapatkan gaji/bengkok dari negara. Kenapa musti ia pasang tarif ketika melaksanakan tugas-tugasnya?
Fenomena tersebut menjadi biasa di pandangan kita karena kegiatan tersebut sudah membudaya sejak lama di sekitar kita. Kalau pada zaman dahulu orang kecil harus jalan nunduk-nunduk ketika ia berjalan melewati depan seorang pejabat atau penguasa. Kita bukannya tidak menghormati orang lain tapi disitu memperlihatkan bahwa seorang pejabat/penguasa itu lebih tinggi dari rakyat diterapkan dengan kakunya sehingga ketika berdiripun tidak bisa sejajar. Padahal derajat seseorang itu tidak akan turun jika kita juga bisa menghargai orang lain sebagai manusia biasa yang juga butuh dihargai. Dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Sementara budaya KKN di tengah rakyat biasa misalnya. Seorang pembantu ketika tetangga bosnya butuh pembantu ia menawarkan temannya. Giliran ketika temannya itu sudah menjadi pembantu ia minta persenan juga sama rekannya tersebut. Dan rekannya tersebut juga mengiyakan saja karena ia dapat kerja karena temannya maka ia wajib mengasih persenan untuk yang telah mencarikan kerja. Padahal kita tahu berapa sih pendapatan seorang pembantu dibandingkan dengan harga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saat ini. Hal semacam itu sudah lumrah terjadi di masyarakat. Tolong-menolong yang dahulu bersifat sukarela saat ini juga dijadikan nilai uang. Yah…itulah kenyataan yang ada hingga kini. Ternyata budaya KKN sangat sulit dihilangkan. Bukan hanya pejabat tapi rakyat juga terbiasa KKN.


sumber : http://soloraya.net

25/12/11

Narkoba


Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.
Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.

Jenis

  • Heroin atau diamorfin (INN) adalah sejenis opioid alkaloid.
Heroin adalah derivatif 3.6-diasetil dari morfin (karena itulah namanya adalah diasetilmorfin) dan disintesiskan darinya melalui asetilasi. Bentuk kristal putihnya umumnya adalah garam hidroklorida, diamorfin hidroklorida. Heroin dapat menyebabkan kecanduan.
  • Ganja (Cannabis sativa syn. Cannabis indica) adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya,tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang dapat membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab).
Ganja menjadi simbol budaya hippies yang pernah populer di Amerika Serikat. Hal ini biasanya dilambangkan dengan daun ganja yang berbentuk khas. Selain itu ganja dan opium juga didengungkan sebagai simbol perlawanan terhadap arus globalisme yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara berkembang. Di India, sebagian Sadhuyang menyembah dewa Shiva menggunakan produk derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap Hashish melalui pipa Chilam/Chillum, dan dengan meminum Bhang.

sumber : id.wikipedia.com

Inflasi dan perekonomian Indonesia

Inflasi dan perekonomian Indonesia sangat saling berkaitan. Apabila tingkat inflasi tinggi, sudah dipastikan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi, dimana akan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi.

Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit endemis dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Soekarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidakprudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi - akan tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.
Bulan dan tahunPertumbuhan ekonomi
Maret 200615.74 %
Juni 200615.53 %
September 200614.55 %
Desember 20066.60 %
Data pertumbuhan ekonomi dari Inflasi CPI - Bank Sentral Republik Indonesia

Perekonomian

Tanda-tanda perekonomian mulai mengalami penurunan adalah ditahun 1997 dimana pada masa itulah awal terjadinya krisis. Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar pada level 4,7 persen, sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang 7,8 persen. Kondisi keamanan yang belum kondusif akan sangat memengaruhi iklim investasi di Indonesia. Mungkin hal itulah yang terus diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini sangat berhubungan dengan aktivitas kegiatan ekonomi yang berdampak pada penerimaan negara serta pertumbuhan ekonominya. Adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan menjanjikan harapan bagi perbaikan kondisi ekonomi dimasa mendatang. Bagi Indonesia, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka harapan meningkatnya pendapatan nasional (GNP), pendapatan persaingan kapita akan semakin meningkat, tingkat inflasi dapat ditekan, suku bunga akan berada pada tingkat wajar dan semakin bergairahnya modal bagi dalam negeri maupun luar negeri.
Namun semua itu bisa terwujud apabila kondisi keamanan dalam negeri benar-benar telah kondusif. Kebijakan pemerintah saat ini di dalam pemberantasan terorisme, serta pemberantasan korupsi sangat turut membantu bagi pemulihan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator makro ekonomi menggambarkan kinerja perekonomian suatu negara akan menjadi prioritas utama bila ingin menunjukkan kepada pihak lain bahwa aktivitas ekonomi sedang berlangsung dengan baik pada negaranya. 

Penyebab Mutu Pendidikan di Indonesia

1. KEBIASAAN MENYONTEK

Siswa menyontek itu biasa terjadi. tapi, guru tidak akan lelah untuk memperingatkannya, Tapi apakah kalian tahu kalau "guru juga menyontek" ? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes pegawai negeri yang di ikuti guru, menyontek telah merasuki sosok guru. guru aja menyontek apalagi siswanya.

2. METODE PERTANYAAN TERBUKA TIDAK DIPAKAI

Salah satu ciri negara FINLANDIA yang merupakan negara ranking pertama kualitas pendidikannya adalah dalam ujian guru memberkan soal terbuka, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Sedangkan Di Indoneisa? tidak mungkin, guru pasti sudah berfikir, "nanti banyak yang nyontek dong," begitu kata seorang guru. Guru Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal terbuka seolah-olah beban berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan ganda, menilainya mudah, begitu kira-kira alasan guru sekarang.

3. GURU TIDAK MENANAMKAN SOAL "BERTANYA"

Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.


4. PERATURAN YANG TERLALU MENGIKAT

Ini tentang KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang seharusnya sekolah memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Namun apa yang terjadi? Karena tuntutan RPP, SILABUS yang “membelenggu” kreatifitas guru dan sekolah dalam mengembangkan kekuatannya. Yang terjadi RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada lho RPP dijual bebas, siapapun boleh meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Administrasi-administrasi yang “membelenggu” guru, yang menjadikan guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru lupa fungsi utama lainnya sebagai mediator, motivator, akselerator, fasilitator, dan lainnya


5. KURANGNYA SARANA BELAJAR

Sebenarnya, perhatian pemerintah itu sudah cukup, namun masih kurang cukup. Pemerintah yang semangat memberikan pelatihan pengajaran yang PAIKEM (dulunya PAKEM) tanpa memberikan pelatihan yang benar-benar memberi dampak dan pengaruh. Malah sebaliknya, pelatihan metode PAIKEM oleh pemerintah dilaksanakan dengan hanya berupa Ocehan belaka


6. PEMBELAJARAN DENGAN METODE CERAMAH 

Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode berceramah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit, Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang diapakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar di kuasai sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar ? Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar ? Atau pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya? mungkin hanya satu alasannya, yaitu Biaya

7. PEMBELAJARAN HANYA PADA BUKU PAKET

Di indonesia telah berganti beberapa kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? TIDAK. Karena pembelajaran di sekolah sejak jaman dulu masih memakai KURIKULUM BUKU PAKET. Sejak era 60-70an, Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, guru hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi “ACUAN” pengajaran guru. Sebagian Guru Tidak pernah mencari sumber refrensi lain sebagai acuan belajar.

Penyebab Terjadinya Kemacetan / Macet Di Indonesia


Macet! Anda pasti langsung terbayang jalanan yang penuh dengan berbagai jenis kendaraan yang malang melintang tak beraturan. Yah, memang kemacetan adalah hal yang wajar terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana kebijakan yang harus di adakan untuk menyikapinya. Pada dasarnya kemacetan terjadi karena mobilitas urban dan commuter yang terlalu tinggi tetapi tidak di imbangi dengan sarana dan prasarana yang memadai.dan kalau kita tarik lagi dari akar permasalahan ini, maka kita akan bisa menarik kesimpulan bahwa masalah macet tak bisa di lepaskan dengan masalah urban.
Dan sekarang anda tentu berpikir, mengapa di Indonesia terjadi eksodus urban yang besar besaran ke kota kota besar dan menjadi pusat pemerintahan. Dan sudah pasti, jawabanya adalah masalah kesejahteraan yang sulit di dapatkan di daerah asal urban itu sendiri. Sehingga sampai kapanpun masalah kemacetan akan menjadi masalah selama pemerataan kesejahteraan belum tercapai. Dan apabila tidak segera di tangani maka suatu saat nanti akan terjadi stagnasi yang luar biasa di kota kota besar seperti di Jakarta.
Polarisasi perputaran uang juga mendasari fenomena ini. Anda dapat bayangkan, apabila 90 % perputaran Uang masih ngendon di Jakarta, maka alangkah sulitnya untuk mendapat 10% sisanya yang tersebar di berbagai daerah, sedangkan kebijakan harga kadang tidak selalu bisa mengikuti persentase perputaran uang, dan sudah barang tentu gejolak pasar akan meledak tak terelakkan. Hal inilah yang membuat orang rela ber gembel gembel ria di kota besar asalkan setiap harinya Mereka dapat mengumpulkan beberapa lembar rupiah yang notabene asalkan dapur Mereka tetap bisa ngebul.
Gaya hidup yang cenderung ke-ndoro–an, juga membuat orang malas berjalan dan berpanas panasan meskipun hanya untuk sekedar makan siang dari satu gedung ke restoran yang berada di gedung lainnya. Kita bisa lihat, jalan raya pasti akan di padati tatkala jam-jam menjelang makan siang dan makan malam. Hal ini dilakukan oleh ribuan orang di kota kota besar dan sudah menjadi gaya hidup yang lebih sering kita sebut kaum hedonis.
Besaran pajak untuk kendaraan juga di nilai terlalu kecil apabila di bandingkan sarana yang harus di sediakan untuk kendaraan itu sendiri. Estimasi itu bisa kita dapatkan secara hitungan kasar. Pajak sebuah mobil pertahun jauh di bawah biaya sarana yang harus di bangun untuk mobil itu selama setahun. Belum lagi, itu tidak termasuk oknum oknum penunggak pajak, dan manipulasi data serta besarnya pajak yang di korupsi oleh oknum terkait.

sumber : http://organisasi.org

Tindak Kriminal


Pidana atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal karena melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau narapidana.
Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan. Definisi kejahatan dalam pengertian yuridistidak sama dengan pengertian kejahatan dalam kriminologi yang dipandang secara sosiologis.
Secara yuridis, kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui secara legal. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat [1]. Reaksi sosial tersebut dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal.

Sebab

  1. Pertentangan dan persaingan kebudayaan
  2. Perbedaan ideologi politik
  3. Kepadatan dan komposisi penduduk
  4. Perbedaan distribusi kebudayaan
  5. Perbedaan kekayaan dan pendapatan
  6. Mentalitas yang labil

Akibat

1. Merugikan pihak lain baik material maupun non material
2. Merugikan masyarakat secara keseluruhan
3. Merugikan negara
4. Menggangu stabilitas keamanan masyarakat


Solusi

  1. Mengenakan sanksi hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas tanpa pandang bulu atau derajat
  2. Mengaktifkan peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik anak
  3. Selektif terhadap budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai busaya bangsa sendiri
  4. Menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai sejak dini melalui pendidikan multi kultural , seperti sekolah , pengajian dan organisasi masyarakat